Kamis, 16 April 2020

Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Nasional

Wawan Setiawan Tirta
Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Nasional. Siapa yang tidak mengenal Ki Hajar Dewantara, beliau adalah seorang Pahlawan Indonesia. Jasanya di bidang pendidikan, membuatnya mendapat julukan "Bapak Pendidikan Indonesia". Karena jasa itu pula, hari pendidikan yang kita peringati setiap tahunnya, diambil dari hari kelahirannya. Beliau memang telah lama meninggalkan kita, namun semangatnya tetap abadi hingga hingga kini khususnya dalam dunia pendidikan Indonesia. Dalam biografinya ini, kami akan mengajak Anda untuk melihat bagaimana perjalanan hidup seorang Ki Hajar Dewantara, selamat membaca.

 Siapa yang tidak mengenal Ki Hajar Dewantara Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Nasional

Biodata Ki Hajar Dewantara

Lahir: Yogyakarta, 2 Mei 1889
Meninggal: Yogyakarta, 28 April 1959
Dimakamkan: Taman Wijaya Brata, Yogyakarta.
Kebangsaan: Indonesia
Pendidikan: School tot Opleiding van Indische Artsen
Pasangan: Nyi Sutartinah
Buku: Menuju manusia merdeka
Penghargaan: Pahlawan Nasional

Biografi Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Dia berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Sebagai keturunan ningrat, Soewardi kecil berkesempatan menempuh pendidikan bersama dengan anak-anak bangsa Eropa. Dia bersekolah di Sekolah Dasar Belanda ELS (Europeesche Lagere School). Setelah itu, Soewardi melanjutkan pendidikannya ke STOVIA, Sekolah Dokter Bumiputera. Oleh karena kondisinya yang sering mengalami sakit, dia tidak menamatkan pendidikan dokternya. 

Ki Hajar Dewantara terlahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Saat berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, dia mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Sejak itu, dia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan agar dirinya dapat bebas bersosialisasi dengan kalangan rakyat biasa.

Ki Hajar Dewantara adalah orang yang gemar mencari ilmu, meskipun bukan di bangku sekolah. Ki Hajar Dewantara pernah bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ki Hajar Dewantara belajar banyak berbagai ilmu dari profesinya sebagai wartawan. Dia menjadi salah satu penulis andal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam, dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antipenjajahan.

Selain menjadi wartawan muda, Ki Hajar Dewantara juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, dia aktif di organisasi Budi Utomo. Ki Hajar Dewantara bersama tokoh Budi Utomo lainnya berjuang menggugah kesadaran masyarakat Indonesia untuk bersatu mewujudkan bangsa Indonesia yang merdeka. Setelah itu, pada tanggal 25 Desember 1912, dirinya bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirja Setiabudi) dan dr. Cipto Mangunkusumo, mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik nasionalisme pertama yang bertujuan untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Ki Hajar Dewantara bersama para tokoh lainnya berusaha mendaftarkan organisasi yang dibentuknya untuk memperoleh status badan hokum. Namun, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menghalangi kehadiran partai tersebut dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Oleh karena pemerintah kolonial menganggap organisasi Indische Partij dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang penjajahan di Indonesia.

Setelah ditolak, Ki Hajar Dewantara dan para tokoh Indische Partij ikut membentuk Komite Bumiputera pada November 1913. Komite ini bertujuan untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Pemerintah Kolonial menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Ki Hajar Dewantara mengkritik tindakan perayaan tersebut melalui tulisan yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Selain itu ada juga tulisannya yang berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda.

Akibat kritikan tulisannya dimuat di surat kabar, Ki Hajar Dewantara ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ki Hajar Dewantara dihukum dan dibuang ke Pulau Bangka. Teman seperjuangannya, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo ingin membantu Ki Hajar Dewantara agar terbebas dari hukuman. Mereka berdua menerbitkan tulisan yang membela Ki Hajar Dewantara. Namun, Pemerintah Kolonial malah menangkap Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo. Belanda menganggap tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo hanyalah menghasut rakyat dan memberontak kepada Belanda. Akhirnya mereka berdua pun dihukum. Douwes Dekker dibuang Kupang, sedangkan Cipto Mangunkusumo dibuang ke Pulau Banda. Tempat pembuangan yang ditunjuk Belanda adalah sebuah daerah terpencil. Di sana mereka tidak dapat mengembangkan ilmu mereka. Namun, mereka mengusulkan agar dibuang ke Negeri Belanda. Di sana mereka dapat mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil. Akhirnya Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo diizinkan ke Negeri Belanda sejak bulan Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Selama menjalani masa pembuangan di Belanda, Ki Hajar Dewantara memanfaatkannya dengan banyak belajar di Negeri Kincir Angin itu. Dia mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran di sana. Prestasinya ditunjukkan dengan memperoleh Europeesche Akte. Pada tahun 1918, Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia setelah menjalani hukuman selama masa pembuangan. 

Setelah itu, Ki Hajar Dewantara mengabdikan dirinya untuk memajukan pendidikan di tanah air. Beliau ingin membebaskan rakyat Indonesia terbebas dari belenggu kebodohan untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa). Pendidikan ini bertujuan menanamkan rasa kebangsaan mencintai tanah air untuk berjuang memperoleh kemerdekaan.

Meskipun perhatiannya tercurah pada dunia pendidikan, tetapi kegiatan menulis tetap dijalaninya. Dia aktif menulis tema-tema pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya sudah berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Pada zaman pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Pemerintah Jepang kemudian membentuk Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) pada tahun 1943 dan Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Pada tahun 1957, Ki Hajar Dewantara mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada. Dua tahun kemudian, pada tanggal 26 April 1959, Ki Hajar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta. Beliau dimakamkan di Kota kelahirannya, Yogyakarta.

Sekian uraian tentang Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Nasional, semoga bermanfaat.

Referensi:
  • Mirnawati. 2002. Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap. Jakarta: Penebar Swadaya Group.